dakwatuna.com – Pada kesempatan ini, mari kita renungi sejenak salah satu nikmat Allah SWT yang sering sekali manusia alfa, yaitu soal usia. Padahal tak ada seorang pun di antara kita yang mampu membendung perjalanan usia. Contohnya, bila sedetik berlalu dari kehidupan kita, sesungguhnya ia telah menjadi masa lalu, bagian sejarah dalam kehidupan anak cucu Adam.
Persoalannya adalah sudahkah kita hidup dengan mengoptimalkan setiap detik usia atau menyia-nyiakannya?
Pertanyaan ini penting diajukan mengingat umat Islam masih banyak yang terjebak dalam kemacetan berpikir tentang potensi usia yang dimilikinya. Banyak yang berpikir, ia baru akan berbuat baik, pergi ke masjid, mengaji dan ibadah lainnya nanti setelah usia lima puluhan, enam puluhan bahkan tujuh puluhan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba di hari
kiamat hingga ditanyakan kepadanya empat hal: Usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia keluarkan, serta ilmunya, apa yang ia telah perbuat dengannya.”
Setiap manusia akan ditanyakan tentang usia yang telah diberikan padanya. Bahkan secara khusus, akan juga ditanyakan tentang usia mudanya. Apa yang telah kita lakukan sepanjang masa muda itu? Barangkali, penyebutan secara khusus tentang masa muda, karena pada masa itulah kita tengah membentuk diri kita, menentukan jati diri kita, dan melakukan revolusi besar dalam sejarah hidup; menikah, berkeluarga, memiliki keturunan, membangun karier dan melakukan segala aktivitas duniawi.
Bila kita renungi lebih jauh, maka kita akan dapatkan bahwa seluruh rangkaian kewajiban agama merupakan
peringatan bagi diri kita tentang perjalanan usia. Lihatlah bagaimana permulaan masuk waktu subuh, misalnya. Tatkala malam membuka selimut fajarnya, berdirilah seorang muadzin menyerukan setiap insan yang tengah terlelap dalam tidurnya, “hayya ala shalah”. (Marilah tunaikan shalat) “As-shalatu khairu min nawum”. (Shalat itu lebih baik daripada tidur).
Jiwa yang suci akan menjawab panggilan itu dengan segara melakukan shalat subuh. Ia akan membasuh wajahnya dengan air wudhu, membersihkan dirinya dari belenggu syaitan dan menyambut harinya dengan hati yang bersih. Sementara jiwa yang terbuai dalam nina-bobo syaitan akan menarik selimutnya, melanjutkan mimpi-mimpinya, hingga ia kehilangan waktu yang sangat indah. Waktu subuh yang menyemburkan semburat kehidupan.
Untuk itulah, para ulama terdahulu, dalam upayanya optimalisasi setiap detik kehidupan yang dijalaninya, mengatakan, shalat lima waktu adalah “neraca harian” kita. Shalat Jumat merupakan “neraca pekanan”,
puasa di bulan
Ramadhan menjadi semacam “neraca tahunan” dan menunaikan haji menjadi “neraca atau timbangan usia” kita.
Bila setiap muslim melakukan kalkulasi dengan benar pada neracanya itu niscaya ia akan beruntung dalam menapaki kehidupan ini. Umar bin Khattab RA berkata, “Barang siapa yang hari ini sama dengan harinya yang kemarin, maka dia adalah orang yang tertipu. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia adalah orang yang tercela”. Waktu laksana angin, ia berembus cepat baik saat kita senang ataupun susah. Dan, manakala maut datang menjemput, masa-masa yang panjang yang pernah dilalui seseorang hanyalah merupakan bilangan masa pendek yang berlalu bagaikan kilat. Jika akhir dari usia adalah kematian, maka panjang-pendeknya usia seseorang hanya tertulis di batu nisan.
Ketika Nabi Nuh, seorang rasul yang berusia sembilan ratus lima puluh tahun hendak dicabut nyawanya, malaikat bertanya, “Wahai Nuh yang memiliki umur terpanjang, bagaimana kamu mendapati kehidupan dunia ini.” Nuh menjawab, “Dunia ini laksana rumah yang memiliki dua pintu, saya masuk dari pintu yang satu dan segera keluar dari pintu yang lain.”
Sungguh benar firman Allah SWT yang menggambarkan orang-orang kafir merasa sebentar saja di dunia, ketika dibangkitkan kelak. Allah SWT berfirman, “Pada hari mereka melihat hari kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) yaitu di waktu sore atau di waktu pagi. (QS: An-Nazi’at ayat 46)
Untuk itulah, sering kita dapati orang yang meratapi masa mudanya saat ia telah berusia renta, lanjut dimakan zaman, rapuh dikikis angan-angan. Penyair Abdul Malik Ziyat menulis, “Seandainya masa muda itu dapat kembali sehari saja, niscaya akan kuberitahukan padanya apa yang telah dikerjakan oleh seorang yang renta ini”.
Karena itu pula, Ibnu Mas’ud, seorang sahabat Nabi SAW berkata, ““Aku tidak pernah menyesali sesuatu. Penyesalanku hanyalah pada hari yang telah berlalu, di mana umurku berkurang dan amalku tidak kunjung bertambah”.
Usia adalah harta termahal yang dimiliki manusia. Hasan al-Basri, penyair Sufi mengatakan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kalian hanyalah sekumpulan dari hari-hari. Setiap kali hari berlalu, akan berlalu pula sebagian dari umurmu”.
Menutup tulisan ini, patut kita renungi anjuran doa yang diajarkan Rasulullah SAW sebagai upaya optimalisasi usia. Doa itu, “Allahuma Inni A’udzu bika Minal Hammi wal Hazn, Wa A’udzu bika Minal ‘Azli wal Kasl” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesengsaraan dan kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan).
Semoga kita termasuk orang yang pandai mengoptimalkan usia.
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook